Perdamaian Agama dan Filsafat


Kajian Ramadhan SASC; Perdamaian Agama dan Filsafat, Upaya Pembacaan Global Filsafat Islam

Oleh : Rifai[1]

Prolog

Dualisme dalam konsep filsafat menurut Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq di dalam buku ‘Tamhid li al-Falsafah’-nya,  adalah pandangan tentang hubungan antara jiwa (ruh) dan raga (madah), dua substansi yang berbeda. Dan penganut dualisme adalah mereka yang mengatakan (meyakini) akan adanya substansi materi, serta adanya substansi ruh[2].

Dualisme[3], merupakan  dua sisi dalam kehidupan yang niscaya. Terkadang dua sisi ini akan bertolak belakang dan kontradiktif seperti halnya dua kutub magnet; positif dan negatif, yang tidak bisa didekatkan bahkan dihubungkan, bag aliran listrik bila dihubungkan aliran positif dan negatifnya, akan terjadi konsleting. Terkadang pula dua sisi ini saling membutuhkan dan melengkapi, seperti kepingan mata uang logam dua sisi itu tidak bisa dipisahkan.

Begitupun dengan agama dan filsafat, dua terma yang selalu menjadi perbincangan hangat oleh para tokoh ilmuan dari masa ke masa. Hingga sekarang permasalahan menyangkut hubungan kedua terma ini masih menjadi sebuah wacana yang memiliki dua kutub, antara pro dan kontra. Antara yang menganggap filsafat seiring sejalan dengan syari’at, dan yang menganggap syari’at bertolak belakang dengan filsafat dan tidak bisa disandingkan antara keduanya.

Syahrastani dalam ‘Milal wa an-Nihal’-nya mengungkapkan perkataan filosof : ketika kebahagiaan itu adalah sesuatu yang dicari, saat manusia bekerja keras untuk mendapatkan dan memilikinya. Maka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan hikmah (kata lain dari filsafat),  sebab hikmah akan meminta untuk melakukannya. Dan ketahuilah sesungguhnya hikmah dibagi dua macam, ilmu dan amal. Bagian amal adalah perbuatan baik, dan bagian ilmu adalah ilmu yang hak (benar)[4].

Sebagaimana ibn Hazm (w. 456 H/1.63 H) dalam kitab ‘al-Fishal fi al-Milal wa an-Nihal’-nya menyatakan “Tidak ada pertentangan diantara ulama’ ahli filsafat dengan seorang ulama’ ahli syari’at”.  Musthafa Abdurraziq menjelaskan bahwa arti dari perkataan ibn Hazm adalah sesungguhnya tujuan filsafat dan syari’at adalah sebuah tindakan, bukan dalam sebuah bentuk madhab filsafat ataupun kelompok agama.[5] Jadi tujuan agama menyerupai tujuan filsafat, keduanya memiliki tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dari jalan keyakinan yang benar dan perbuatan tingkah laku yang mulya.

Dari ungkapan dua tokoh ini memiliki arti bahwa filsafat tidaklah menjadi sebuah momok bagi syari’at, akan tetapi selaras. Kedua nya bisa dilebur untuk melengkapi.

Bertolak dari anggapan diatas, adapula ulama yang tidak mengindahkan filsafat. Filsafat dianggap hina tidak selaras dengan ajaran Islam, serta orang yang mempelajari dan memdalaminya dianggap zindiq bahkan kafir.

Ahmad bin Mushthafa yang dikenal dengan Thosy Kubro Zadah (w. 962 H/1554 M) dalam kitab ‘Miftahu as-Sa’adah wa Mishbahu as-Siyadah menganggap filsafat bertentangan dengan syari’at serta para ahli hikmah dianggapnya sesat. Bahkan mereka dianggap musuh Allah dan para Nabi dan Rosul, lebih dari itu para ahli hikmah dianggap sebagai pemalsu ajaran syari’at[6].

Begitupula dengan Syaikh Jamaluddin Abi Bakar Muhammad ibn Abbas al-Khawarizmi (w. 383 H/ 993 M) dalam kitabnya ‘Mufidu al-Ulum wa mubidu al-Humum’ menelisik asal mula masuknya filsafat dalam Islam dari kecakapan dan kepandaian tokoh filosof Yunani, dan menganggap mereka penuh keraguan dan kegilaan dalam memahami ajaran ke-Tuhan-an. Serta menganggap asas mereka adalah atheis, tidak meyakini akan Tuhan, sehingga dianggap zindiq pondasi madhab mereka, dan kufur semua pengikutnya[7].

Itulah dualisme yang selama ini meramaikan sinergitas kazanah keilmuan dalam dunia Islam, ada yang melihat filsafat dengan kacamata positif dan ada pula yang melihatnya dengan kacamata negatif. Memang ini sebuah bentuk kecintaan tokoh ulama Islam untuk menjaga kemurnian Islam, dan adapula yang ingin mengembangkan Islam menjadi agama yang terbuka tentunya agar Islam menjadi rahmah lil’alamin. Dari sinilah kajian perdamaian Syari’at dan filsafat akan dimulai.

 Potret Filsafat  dalam Dunia Islam

Sebelum masuk kedalam peta filsafat dalam Islam, perlu kiranya memaparkan sedikit uraian mengenai geliat para tokoh kaum muslim yang ramai berbincang dan saling berbeda pendapat dalam mengejawantahkan ajaran Islam, terutama masalah ‘ushuliyah’ (akidah) dalam Islam.

Merekalah para Mutakallimin, yang tanpa disadari dengan perbincagan dan perdebatannya membentuk sebuah aliran atau madhab akidah (teologi), atau sebutan lainnya aliran Kalam, yang hingga saat ini masih banyak pengikut dan pengkajinya. Sepertihalnya; Khowarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Percekcokan internal, mengenai akidah menghukumi kekafiran dalam tubuh Islam memberikan dampak bagi pemikiran dan keilmuan dunia Islam. Perbicangannya berkembang dan menembus batas terhadap hal yang kasat mata dan tidak bisa dicapai panca indera. Itulah metafisika, membincang mengenai penciptaan alam semesta dan jagad raya, serta zat Sang pencipta.

Disinilah letak kenapa para mutakallimin disebut sebagai pembela dan penjaga agama, melalui dalil-dalil yang mereka paparkan mengenai akidah Islamiyah. Sebagaimana Ibn Kholdun dalam ‘Mukaddimah’-nya yang menyatakan bahwa, ilmu kalam adalah ilmu yang berisi hujjah dari akidah dan keyakinan dengan menggunakan dalil akal (rasio), serta menolak pembid’ahan dan pemalsuan dalam akidah salaf dan ahlu sunnah.[8]

Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq-pun menjelaskan dalam ‘Tamhid li al-Falsafah’-nya bahwa ilmu Kalam sesungguhnya bertujuan pengokohan rasio kepada akidah agama, serta menjaga akidah dari kecondongan yang atheistik[9].

Muhammad Ghilab dosen filsafat di Fakultas Ushuludin Universitas al-Azhar yakin, bila dalam sejarah Arab hadirnya ilmu kalam pada awal perkembangan Islam, yang mensinergikan kinerja akal dalam berlogika untuk mencari kebenaran, merupakan langkah awal lahirnya filsafat di Arab dengan adanya ilmu kalam ini[10].

Filsafat dalam Islam (filsafat Islam) mulai terkonstruk setelah para pemikir menterjemahkan karya filosof Yunani, yang terbilang marak pada masa kekhilafahan Abbâsiyah di Baghdad, terutama pada masa al-Ma’mun yang sangat suka kepada filsafat, kemudian diteruskan al-Mu’tasim Billah hingga anaknya Ahmad bin Mu’tashimpun diajari filsafat kepada al-Kindi.

Memang sejak Islam bersentuhan dengan buah kebudayaan Yunani, yakni karya-karya agung filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles, banyak diganderungi oleh para akademisi Arab Islam. Renan pun mencibir dunia Islam dan menganggap filsafat Islam seakan-akan kloningan dan pentaklidan dari filsafat Yunani, serta tidak memiliki hasil/nilai apapun (karakter) secara khusus.

Tapi anggapan itu ditepis oleh Dr. Mushthafa Abdurraziq dalam bukunya ‘Tamhid li Tarikh al-Falsafah Islamiyah’ dengan memaparkan pandangan Salamon Munk[11] kenapa filsafat Islam identik dengan filsafatnya Aristoteles, dipilihnya Aristoteles diantara filosof lainnya karena metode empirismennya (tajribi) lebih bisa diterima bagi kecondongan para akademisi Arab, daripada metode idealismenya (mitsali) Plato. Apalagi logika Aristoteles bisa dijadikan senjata yang bermanfaat dalam perselisihan yang berkelanjutan diantara para mutakallmin/ahli madhab teologi.

Dari pemaparan Munk bisa ditarik sedikit benang merah bahwa terdapat indikasi penolakan pendapat Renan, sebab besarnya pengaruh Aristoteles terhadap sarjana Arab, dalam artian tidak semua yang berasal Yunani diambil secara mentah-mentah, melainkan ada filter serta analisa yang mendalam agar filsafat yang masuk itu sejalan dengan pemikiran dunia Arab Islam.

Memang terkesan filsafat Islam cenderung Aristotelean, karena awalnya dijadikan senjata para ahli kalam dalam Islam. Tapi disinilah letak karakter filsafat dalam Islam, yakni digunakan untuk membentengi akidah. Bahkan Dr. Mushthafa Abdurraziq berkeyakinan bahwa analisa akal Arab pada hakekatnya akan membawa perbaikan pada al-Qur’an dan penyempurnaan agama Islam, dan peran Muktazilah yang telah memimpin gerakan filsafat dalam Islam.[12]

Secara garis besar filsafat Islam terbagi menjadi corak pemikiran filsafat antara Masyriq (Baghdad dan Damaskus/Iraq) dan Maghrib (Cordoba, Andalusia/Spanyol). Tokoh filosof muslim yang terkemukapun bisa dipetakan kepada; al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Shina di Masyriq. Sedangkan di Maghrib ada; Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rushd.

Al-Kindi tercatat sebagai tokoh yang banyak memperkenalkan filsafat Yunani kedalam dunia Islam, bahkan mendedikasikan karyanya Falsafah alUla serta risalah-risalahnya kepada Ahmad bin Mu’tashim[13].

Husein Muruwah menyebut bahwa al-Kindi adalah pemikir Arab pertama yang meletakkan landasan pengetahuan kepada perkara yang lebih luas, dan membuka pemikiran umat Islam yang baru kepada wawasan pengetahuan filsafat sesuai maknanya yang luas dan tidak hanya yang berhubungan pembahasan Tuhan saja. Begitu juga dengan penahbisannya sebagai filosof Arab atau filosof Islam pertama. [14]

al-Farabi sang penerus khazanah filsafat Islam merupakan tokoh yang membumikan ajaran filsafat kedalam hubungan kemanusiaan dengan menggunakan pendekatan Aristotelean terhadap psikologi dan politik dalam karyanya Madinah Fadilah dan Siyasah Madinah-nya.

Sedangkan Ibn Shina banyak para sejarawan mencatatkan bahwa pandangannya banyak mengambil dari al-Farabi. Pernah suatu ketika ibn Shina merasa kesulitan memahami kitab ‘Ma Wara’ah Thabiah’-nya Aristoteles sampai ia membacanya empat puluh kali dan putus asa, hingga merasa perlu untuk menalaah kitabnya al-Farabi untuk memahami maksud dari kitab Aristoteles tersebut, darisanalah terbuka apa yang selama ini belum dipahami hingga ia merasa gembira dan banyak meyakini poin pentingnya.[15]

Ibn Shina mengembangkan metode empirismennya dengan melakukan penelitian lebih mendalam kepada ilmu bedah dan pengobatan, serta geologi dsb.

Tokoh-tokoh diatas merupakan kekayaan yang dimiliki khazanah Islam dalam filsafat di Masyriq. Begitupula dengan sepakterjang filusuf Islam di Maghrib/Andalusia Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rushd yang merupakan sebuah mata rantai dari filosof Islam di Masryiq.

Bahkan Abid Jabiri berani menyatakan secara dhohir hubungan antara kedua aliran filsafat diatas, merupakan manifestasi atas terbentuknya khazanah yang dikenal dengan istilah “Filsafat Islam” atau “Filsafat dalam Islam”. Walaupun beliau juga mengakui bahwa pengejawantahan dua aliran filsafat ini, memiliki metode dan pemahaman dalam permasalahan epistemologi yang berbeda.[16] Sebab memang banyak teori-teori hasil pemahaman filosof Islam Masyriq banyak yang dikritisi dan dibenahi oleh filosof Islam Maghrib.

Pembenahan filsafat Islam Masyriq diawali oleh ibn Bajah yang memapankan peranan filsafat dalam aspek kemanusiaan, dalam artian membahas seluk beluk sistem tatanan manusia dalam sebuah kelompok yang menjadi kesatuan bermasyarakat. ini penyempurnaan dari Filsafat Masyriq al-Farabi dalam Madinah alFadilahnya, kepada Tadbir alMutawahidnya ibn Bajah. Sebagaimana yang diungkapkan Atif Iroqi, sesungguhnya esensi kemanusiaan dalam ibn Bajah menunnjukkan lebih jelas dari esensi kemanusiaannya al-Farabi dalam Madinah alFadilahnya.[17]

Sedangkan penyempurnaan pandangan filsafat kaitannya dengan pembahasan aspek ketuhanan, yang membahas masalah metafisika zat Tuhan dan kaitannya dengan syari’at/teologi. Dimulai dari ibn Thufail dalam karya monumentalnya ‘Hay bin Yaqdzan’ tapi kemapanan filsafat ini terdapat pada muridnya ibn Rushd yang berhasil menyandingkan filsafat dengan syari’at di Fashl Maqal-nya, dan meluruskan tuduhan kekafiran para filosof yang dikafirkan oleh imam Ghozali dalam TahafutTahafut-Nya.

Clash Filsafat dalam Islam  

Sejenak melihat pergolakan politik dalam khilafah Islamiyah dan pengaruh para tokoh telogi dan fuqaha’ yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan sains yang dikembangkan para filosof muslim. Pada masa awal Islam percekcokan para ahli kalam saja sudah banyak memperkeruh situasi umat muslim yang ketika itu mempengaruhi stabilitas perpolitikan perebutan kekuasaan, karena memang setiap kekhilafahan ditopang oleh tokoh yang mengusung sebuah ideologi, sebagai sumber legitimasi keagamaan.

Pelabelan sesat hingga pengkafiran terhadap sesama ahli kalam yang membahas masalah ke-Tuhan-an saja sudah menjadi wajar di dunia Islam, apalagi dengan masuknya ilmu serapan dari filsafat dari Yunani. Muktazilah saja sebagai madhab teologi pengusung rasionalitas tidak mendapatkan tempat setelah dikebiri oleh ahli hadits dan Asya’irah. Semacam tokoh Mu’tazilah Hudzail al-Allaf dan al-Baghdadi yang dikecam oleh Asy’ari karena mengambil doktrinan dari filsafat Aristoteles[18].

Setelah filsafat menunjukkan eksistensinya yang banyak dikenalkan al-Kindi dan ketika itu memang khilafah memberi ruang untuk itu. Tapi ternyata dikotomi penghukuman kebenaran tetap digulirkan oleh kalangan ortodok Islam, bahkan hubungan antara keimanan dan rasionalitas seakan-akan dibenturkan, bahkan Husein Muruwah tak segan untuk menggunakan istilah ‘shira’ baina ad-din wa al-falsafah’[19] untuk menggambarkan keadaan itu.

Bahkan mayoritas filosof tidak mendapatkan tempat untuk mengembangkan diri di dunia Islam, sebab tercatat dari al-Kindi hingga Ibn Rushdyang hidupnya merasakan kesengsaraan hal diatas, filosof Islam menjadi korban atas pengkebirian ilmu filsafat yang mereka kembangkan di dunia Islam.

Karya-karya berharga ilmu fisika/kealaman semacam aritmatika, geometri, kosmologi, kedokteran dan astronomi yang banyak al-Kindi torehkan dalam tinta emasnya jarang diadapat setelah pemerintahan Mutawakkil yang sangat benci terhadap penggunaan akal dalam menginterpretasi dogma agama, bahkan menyita perpustakaan al-Kindi.

Begitu juga al-Farabi dan Ibn Sina yang tak luput dari pengkafiran oleh imam al-Ghazali yang efeknya hingga terasa sekarang, umat muslim sangat mengganderungi ajaran keagamaan al-Ghazali. Filosof muslim Maghrib-pun mendapatkan getahnya ibn Bajah dituduhan zindiq oleh penguasa Murabithun, begitu pula Ibn Rushdyang dituduh kafir dengan ajaran filsafatnya sehingga diasingkan oleh pemerintahan khalifah abu Yusuf al-Mansur dan memabakar buku-bukunya.

Ada dua poin penting yang bisa diambil dari pemaparan clash filsafat dengan agama diatas, yang pertama, adanya ideologi tokoh agama yang tidak sejalan dengan filsafat dan menganggap ajaran filsafat sesat di luar Islam. Sedangkan yang kedua, adanya kekuatan politik yang ditopang dengan kekuatan militer.

Kedua elemen ini bila berkolaborasi akan menjadi kekuatan yang mematikan bagi lawan politik serta lawan ideologi.  Ketika kaum agamawan yang kontra terhadap filsafat dirangkul oleh penguasa, maka lenyaplah filsafat itu dikebiri habis-habisan.  Sebagaimana kekuatan kaum Fuqaha di masa kekuasaan Murabithun di andalusia, Abid Jabiri memaparkan bagaimana telah menjadikan daulah fuqaha’ di dalam kekuasaan murabithun di Andalusia.[20]

 Pengkebirian Filsafat ala Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun. Adalah seorang teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Al-Gazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Imam al-ghazali tercatat sebagai salah satu ulama Islam yang selamat dari amukan para penguasa, namanya pun harum semerbak bunga tersiar di dunia Islam. Ya, kedekatannya dengan para penguasa menjadikan ideologi cemerlangnya bisa tersebar dengan bebas di dunia Islam lewat karya-karyanya. Yah walaupun ideologinya terkadang tak menentu dari fiqih, tasawwuf dan mantiq semua pernah dijelajahi, yang nampak seperti pesanan penguasa.

Ideologi Imam al-Ghazali tercatat sangat dekat dengan kesultanan Saljuk bahkan digunakan untuk melawan ideologi pemerintahan Isma’liyah, Syi’ah. Abid jabiri dalam bukunya ‘at-Turats wa al-Hadatsah’ dengan gamblangnya menjelaskan betapa besar peran imam al-Ghazali  dalam menyokong kekuasaan kesultanan Saljuk, bahkan semenjak usianya 28 tahun.

Peran al-Ghazali dalam membendung ideologi ‘Syiah Islma’iliyah’ sangatlah besar. Syiah Isma’iliyah merupakan salah satu madhab dalam Islam yang memiliki penyokong kekuatan dan kekuasaan politik serta ketinggian ilmu pengetahuan (falsafi), sehingga untuk membendung ideologi itu membutuhkan kekuatan yang setara yakni filsafat. Disinilah peran al-Ghazali dalam kitab ‘Tahufut al-Falasifah’nya memiliki agenda politik untuk membendung kekuatan ideologi Syi’ah Isma’iliyah.[21]

Dalam teori penolakan penalaran ‘burhani’-pun al-Ghalzali sebenarnya bermaksud untuk membendung terori ‘irfani’ ala Syi’ah Isma’iliyah, karena memang mereka condong mengagungkan pengetahuan dari pada ajaran agama. Disinilah peran mantiq As’ariyah yang dimanfaatkan al-Ghazali untuk membungkam penalaran ‘irfani/burhani’. Sehingga paham As’ariyah benar-benar terlahir kembali berkat peran al-Ghazali, serta mendapat tempat perlindungan peguasa kesultanan Saljuk pada masa Abbasiyah yang sedang bersaing dengan Syiah Isma’iliyah.

Dari sinilah pembendungan ideologi Syi’ah Isma’iliyah dibilang sukses, yang kemudian semakin memperkokohnya konstruk ideologi sunni di dunia Islam dengan menggunakan ideologi al-Ghazali, yang merangkul As’ariyah dan mengembangkan tasawwuf fiqhiyah-nya. Tapi, kesuksesan ini ternyata berdampak buruk bagi dunia Filsafat dalam Islam secara keseluruhan, sebab dengannya filsafat dipandang sesat semua.

Kekuatan propaganda ideologi al-Ghazali tidak seperti Ulama Islam lainnya karena memang al-Ghazali memiliki perlindungan dari penguasa kesultanan Saljuk. Bahkan Abid jabiri mengatakan penolakan idelogi ala imam al-Ghazali kepada lawan ideologinya tidak hanya menolak sekedar berbeda pendapat saja tapi juga melakukan penyerangan, istilahnya ‘tanaqidhan munadhilan failan’[22].

Dalam pengkafiran filsafat ala Imam al-Ghazali Atif Iraqi memberikan gambaran yang mendetail, terutama menyoroti karyanya yang sangat frontal yakni ‘Tahafut al-Falasifah’.  Karena memang karya-karya sebelumnya tidak sebegitu frontal dalam mengkebiri filsafat, malahan seakan-akan bermesraan dengan filsafat. Sepertihalnya kitab ‘Maqashidu al-Falasifah’, ‘Mi’yaru al-Ulum’, dan ‘Ihya’ Ulum ad-Din’ yang condong kepada fiqih sufiyah-nya.

Al-Ghazali membuat karyanya ‘Tahafut al-Falasifah’ pada tahun 488 H sebelum beliau keluar dari kota Baghdad sebab memang al-Gazhali semasa hidupnya berpindah-pindah dan berpetualang kebeberapa negara Islam. Dalam pembuatan kitab ini al-Ghazali tercatat masih berusia 38 Tahun, tepatnya setelah membuat kitab ‘Maqasidhu al-Falasifah’.

Berbeda acuan dengan kitab sebelumnya dimana al-Ghazali fokus melalukan pembahasan madhab filsafat secara mendalam tidak seperti ‘Tahafut’nya yang cenderung frontal menolak filsafat. Dalam kitab itu terdapat 20 permasalahan memang tidak semua pembahasannya menghasilkan pengkafiran terhadap para filosof, karena memang menurut Atif Iraqi, Imam al-Ghazali tidak memungkiri adanya manfaat yang bisa diambil umat Islam dalam melatih akal (arriyadhi) serta tidak mengingkari hal alami (Thabiat)  dalam Islam, kecuali yang dianggapnya menyimpang dalam pembahasan agama dan ke-Tuhan-an.[23]

Dalam ‘Tahafut’-nya al-Ghazali menyatakan : “inilah yang saya inginkan menjelaskan penolakan terhadap beberapa ilmu mereka dalam hal ke-Tuhan-an (alilahiyah) dan ilmu alam (tabi’ah). Sedangkan olah akal (arriyadiyah) tidaklah bermakna dalam mengingkarinya dan juga menentangnya, sebab hal itu kembali kepada penghitungan (alhisab) dan ilmu ukur (al-handasah).”[24]

Secara garis besar ada tiga permasalahan yang lantang dikampanyekan untuk mengkebiri filosof oleh al-Ghazali dalam ‘Tahafut’-nya yakni; pertama, masalah tidak bermulanya alam (qidamu alalam). Yang kedua, masalah kebangkitan jasad (khulud al-jasad). Dan yang ketiga masalah Allah tidak mengetahui hal parsial (juz’iyah).

 Mendamaikan Filsafat dengan Agama 

Untuk masuk kedalam pembahasan perdamaian filsafat dan syariat ini tentunya perlu penjelasan untuk meluruskan pandangan kekafiran filosof yang diutarakan al-Ghazali dalam kitab ‘Tahafut’-nya dalam tiga permasalahan pokok diatas.

Dalam masalah ‘qidamu al-alam’. Pada masalah ini harus diuraikan maksud imam al-Ghazali yang menolak hal itu. Apakah Allah menciptakan alam dengan satu materi pertama untuk membuktikan bahwasanya tidak bermula (al-qidam)? Atau sesungguhnya Allah menciptakannya dari ketiadaan sehingga bisa dikatakan hal yang baru (al-huduts)?

Sebenarnya dalam hal ini al-Ghazali mengambil pendapat dari perkatannya Yahya an-Nahawi, hal ini diungkapkan oleh al-Baihaqi dalam kitabnya ‘Tarikh Hukama’ al-Islam’, al-Baihaqi berpandangan bahwa dalam tahafutnya al-Ghazali banyak mengambil dari pernyataan Yahya an-Nahawi ketika menentang pendapat Proclus[25] yang mengatakan qidamu alAlam[26].

Disinilah al-Ghazali  sebenarnya mengikat permasalahan antara hal yang baru (al-huduts) dan terdahulu (al-qidam) yang menjadi tema dalil atas eksistensi Tuhan. Dalam ‘Tahafut’-nya al-Ghazali membagi tiga kelompok pembahasan dalam mengurai dua permasalahan ini;

kelompok pertama, yang disebut ‘ahlu al-haq’, yang menyatakan alam itu hal yang baru(hudutsu al-alam) dan ketika alam itu baru maka memiliki pembuat hal yang baru, yakni Allah.

Kelompok yang kedua, yakni ‘Dahriyah’. Yaitu yang mengatakan bahwa alam itu terdahulu (qidamu al-alam), oleh karenanya tidak mengetahui dengan wujud/eksistensi Tuhan. Sedangkan kelompok yang ketiga, adalah filosof , yang berpendapat sama dengan sebelumnya alam itu terdahulu (qidamu al-alam).[27]

Dari sini bisa dilihat bahwa al-Ghazali membenarkan kelompok pertama yang menyatakan alam adalah hal yang baru tentunya membutuhkan adanya sang penyebab hal yang baru (muhdits) untuk membuat Alam. Dan kelompok yang kedua dianggap tidak benar bahkan pendapatnya perlu ditentang, dalam artian yang menyatakan qidamu al-alam menunjukkan pengingkaran terhadap wujud penyebab terciptanya alam ini. Sedangkan kelompok yang ketiga, al-Ghazali menganggap pendapat mereka perlu ditentang, bagaimana bisa alam tidak berawal dan ketika itu membuktikan adanya Tuhan.

Sedangkan ibn Rushd di dalam ‘Fashl al-Maqal’-nya membagi tiga karakter penciptaan, dimana penciptaan alam berada dalam karakter ditengah ‘wasithah baina tharfaini’;

Pertama, ada diadakan dari sesuatu selainnya dan oleh sesuatu. Yakni disebabkan adanya pelaku dan materi. Yaitu keadaan bentuk yang diketahui penciptaannya dengan panca indra.

Kedua, ada tidak diadakan dari sesuatu dan tidak oleh sesuatu, serta tidak didahului oleh zaman. Inilah Tuhan yang melakukan segala sesuatu.

Ketiga, sedangkan yang berada diantara kedua karakter diatas adalah, ada tidak dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman tapi diadakan oleh sesuatu, yakni pelaku (Tuhan)[28].

Dari pemetaan ketiga karakter diatas Ibn Rushd mencoba mendamaikan antara kelompok yang memperdebatkan bahkan saling mengkafirkan, akan tetapi seharusnyalah saling menerima sebab penamaan alam itu ‘qidam’ dan ‘huduts’ sama-sama diterima. ‘Haduts’ memang alam adalah sesuatu yang baru yang diciptakan oleh Tuhan, ‘qidam’ karena memang alam adalah diciptakan terdahulu dan tak bermula oleh Tuhan, tentunya ‘qadim’ alam berbeda dengan sifat ‘qadim’ Tuhan yang eksistensinya tidak diciptakan melainkan mencipta.

Sedangkan dalam permasalahan Allah tidak mengetahui sesuatu yang parsial, ibn Rushd meluruskan pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa filosof tidak meyakini bahwa Tuhan mengetahui perkara parsial.

Untuk meluruskan tuduhan al-Ghazali itu dalam ‘Fashl al-Maqal’-nya ibn Rushd memberikan sebuah penjelasan mengenai ilmu Tuhan dan ilmu makhluknya. Menurut Ibn Rushdilmu kita _sebagai mahluk_ disebabkan oleh adanya obyek pengetahuan itu (ma’lum bihi), dan itu hal yang baru sesuai dengan kebaruannya dan berubah sesuai dengan perubahannya. Sedangkan ilmu Tuhan merupakan penyebab dari pengetahuan itu[29].

Disinilah letak kesalahpahaman al-Ghazali menyamakan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan mahluknya, bagaimana bisa Allah tidak mengetahui hal parsial padahal Tuhanlah yang membuat pengetahuan dan menuntun mahluknya untuk mengetahui itu.

Dalam masalah kebangkitan jasad di hari kiamat. Al-Ghazali meyakini akan kebangkitan jasad dan ruh, yang akan berikan pahala serta siksa. Sedangkan filosof meyakini hanya ruh saja yang akan bangkit dihari akhir kelak, sebab sepertihalnya di dunia yang merasakan kebahagiaan dan kesenangan merupakan jiwa itu, dan bukan tubuh.

Sebenarnya setelah adanya pengkebirian filsafat di dunia Masyriq Islam, filosof Maghrib Islam mencoba untuk meluruskan tuduhan itu dan berusaha mengharmoniskan kembali hubungan filsafat dan ajaran Islam. Sebagaimana ibn Bajah memandang tuduhan al-Ghazali sebagai langkah yang didasari dari tindakan mutakallimin bukan filosof. Sedangkan ibn Thufail dengan karya monumentalnya ‘Hay bin Yaqdzan’ dalam Mukaddimahnya menjelaskan ketidak-sepakatannya dengan al-Ghazali dengan kebangkitan jasad, begitupun dengan ‘qidamu al-alam’[30].

Yang paling berpengaruh dalam membendung ideologi kekafiran filsafat ala al-Ghazali adalah Ibn Rushd murid dari ibn Thufail. Sebelum ibn Rushd menerbitkan karya-nya yang menentang setiap bab pembahasan dalam kitab ‘Tahafut al-Falasifah’ dalam ‘Tahafut-tahafut’-nya, ibn Rushd memberikan pendekatan awal dalam mendamaikan syari’at dengan filsafat dalam bukunya ‘Fashl al-Maqal; fi Taqrir baina as-Syari’ah wa al-Hikmah min Ittishal’.

Abid jabiri mengungkapkan bahwa buku ini merupakan upaya memperbaiki hubungan agama dan masyarakat, sebab terkadang agama dimanfaatkan oleh penguasa sebagai alat legetimasi, dimana terkadang dengan pentakwilan ajaran agama dijadikan alat untuk mengkebiri kelompok lain terutama ketika itu ramainya pengkafiran filosof. Disinilah ‘Fashl al-Maqal’ menjadi alat meluruskan pentakwilan dimanfaatkan untuk politik.[31]

Secara umum kitab ‘Fashl Al-Maqal’ ingin mengembalikan keharmonisan agama dengan penalaran akal, keharmonisan syari’at dan filsafat. Ini terlihat jelas di awal pembahasan dalam kitab ini menyodorkan uraian kinerja filsafat, dimana agama juga mengajarkan untuk menganalisa sesuatu menggunakan penalaran akal dan mencari pengetahuan[32].

Ibn Rushdpun meyakini bahwa kebenaran tidak akan bertolak belakang dengan kebenaran lain, akan tetapi akan bersepakat. Disinilah ibn Rushd mengkampanyekan bahwa kebenaran yang diajarkan filsafat melalui nalar akal, tidaklah bertentangan dengan kebenaran agama. Sebab syari’at itu benar jika menganjurkan kepada pengetahuan yang benar. Dan sesungguhnya umat Islam mengetahui untuk menolak pandangan bahwa agama tidak sejalan dengan penalaran akal (burhani).[33]

Diakhir pembahasan ibn Rushd menyimpulkan bahwasanya hikmah/filsafat merupakan teman bagi syariat dan bahkan saudara kandung[34]. Sebagaimana Muhammad Abduh, seorang tokoh yang gencar mengembalikan semangat ‘Rushdian’ dalam dunia Islam di masa kejumudan mengatakan bahwa :

العقل يجب أن يحكم كما يحكم الدين, فالدين عرِف بالعقل. ولابد من اجتهاد يعتمد على الدين والعقل معا.[35]

 

Epiolog

Poin penting yang bisa diambil sebagai benang merah dari pemaparan diatas, bahwa filosof Islam tidaklah sepenuhnya melakukan pentaklidan terhadap filosof Yunani sebagaimana anggapan Renan, tetapi filosof Islam memiliki acuan yang membatasi teori filsafat Yunani dalam keterpengaruhannya, sehingga filsafat Islam bisa berjalan seiring dengan syariat Islam, dan tentunya agar tidak dikafirkan. Walaupun terkadang ada yang pro dan kontra terhadap filsafat merupakan sebuah sinergitas dinamika kekayaan kazanah keilmuan Islam, dalam membentengi agama dan menjadikannya tetap inklusif dengan karakternya. Dan tentunya agama dan filsafat, tidaklah perlu dipertentangkan hubungannya, sebab agama menganjurkan berfikir sebagaimana halnya berfilsafat dan mengambil hikmah.


Daftar Pustaka :

  1. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
  2. Abid jabiri. Nahnu Wa at-Turats; Qira’at Mu’ashiroh fi Turatsina al-Falsafi.  
  3. _____________ At-Turats wa al-Hadatsah; Dirasat wa Munaqasat. Beirut : Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 2006. 
  4. Atif Iroqi, al- Falsafah al- Arabiyah wa at-Thariq ila al-Mustaqbal; Ru’yah Aqliyah Naqdiyah, Kairo : Daar ar-Rosyad, 1997.
  5. ___________, Ibn RushdFilusufan ‘Arobian Biruhi Gharbiyah. Kairo : Dâru Mishr al-Masruhah, 2008.
  6. Felix Klein-Franke. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam; Al-Kindî. Bandung: Mizan Media Utama, 2003.
  7. Husein Muruwah, an-Naz’at al-Madiah fi al-Falsafah al-‘Arabiyah – al-Islamiyah. JilidIV. Lebanon: Dar al-Farabi, 2002.
  8. Ibn Rushd, Fashl Maqal; fi Taqrir baina as-Syari’ah wa al-Hikmah min Ittishal’.Tahkik: Abid Jabiri, cet. ke-4, Beirut : Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 2007.
  9. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Tamhid li al-Falsafahcet ke-5, Kairo; Daar al-Ma’arif, 1994.
  10. ______________, ad-Din li al-Hayah. Kairo: Maktabah al-Usrah, 2010.  
  11.  Mushthafa Abdurraziq, Tamhid li at-Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo; al-Hai’ah al-Mishriyah al-Amah li al-Kitab,2007.
  12. Muhammad Ghilab, al-Kalam wa al-MutakallimunKairo: hadiah majalah al-Azhar, 2010.
  13. T. J. De Bore, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Kairo: Maktabah al-Usrah, 2010. Hal
  14. Syahrastani dalam ‘Milal wa an-Nihal’
  15. Ibn Kholdun, al-Mukaddimah
  16. Tahafut al-Falasifah

Tinggalkan komentar