Ormas dan Makelar


Maraknya gerakan demo yang dilakukan oleh ormas Islam di Jakarta hingga berjilid-jilid, merupakan gerakan yang perlu diperhitungkan eksistensinya. Tapi sayangnya, pemerintah memiliki rujukan tersendiri dalam menimbang tiap pergolakan yang disebabkan ormas Islam itu. Tentu untuk mengambil tindakan demi memegang teguh keutuhan NKRI, pemerintah selalu melihat sikap NU-Muhammadiyah untuk dijadikan rujukan utama. Sebagai ormas Islam yang lahir dan ikut berdarah-darah membangun dan membentuk serta menjaga NKRI.

Oleh karenanya, ormas Islam di Indonesia yang tidak masuk dalam wadah NU-Muhammadiyah akan terkucilkan. Hadirnya gerakan demo atas nama Islam, tanpa dukungan resmi dari kedua ormas ini, akan menjadi ancaman bagi pemerintah. Dan itu terbukti setiap kali jilid demo beraksi, berujung penangkapan.

Alternatif bagi ormas Islam yg baru muncul di Indonesia tanpa melalui wadah NU-Muhammadiyah, jika memang benar ingin memperjuangkan dakwah ke dalam pemerintahan. Jadilah partai, biar lebih efektif. Dengan menjadi partai, ormas itu bisa lebih efektif menerima aspirasi umat, bisa efektif menyampaikan aspirasi dalam legislatif ataupun menerapkan dalam eksekutif. Karena dengan menjadi partai, sudah dijamin bisa bersaing secara fair, berjuang mendapatkan jatah legislatif maupun eksekutif. Bahkan bisa mengajukan calon pemimpin sendiri. Bukan melalui jalur belakang jadi makelar aksi masa demonstrasi, sesuai pesanan pemilik modal dan pada momen tertentu saja.

Sedangkan jika mau berdakwah ke akar rumput masyarakat di daerah, buatlah fasilitas syiar dakwah melalui pendidikan madrasah dan masjid sebanyak-banyaknya. Tapi yang jelas harus siap menghadapi, masyarakat yang sudah memiliki tradisi dan nilai lokal. Tentunya akan bersaing dengan NU-Muhammadiyah yang sudah mengakar kuat di daerah. Dan itu akan menjadi tantangan, bisakah lepas dari genggaman NU-Muhammadiyah atau mencair ikut kedalam koridor dua ormas ini?

Dua Karakter Belajar ke Arab


Ada dua metode pendekatan orang yg belajar ke Arab; pertama pendekatan politik dan dana, dan kedua pendekatan ilmu dan budaya.

Yang melalui pendekatan politik cenderung keras, anti perbedaan dan rasis. Beda pandangan politik dan partai, sama saja beda agama, bisa jadi munafik dan kafir. Semua yang berasal dari Arab seakan menjadi bentuk ajaran agama, yang turun dari langit dan wajib dipatuhi. Tentu dogma akan bisa memonopoli kekuatan dana umat dengan menggunakan kode, halal haram, bela agama dsb. Hidup mewah, harta melimpah dan istri banyak bukan masalah.

Sedangkan yang melalui pendekatan ilmu dan budaya, tampil lebih elegan. Bisa membuat semacam akulturasi dalam membingkai domestifikasi ilmu dan budaya. Sebagaimana dalam sejarah Islam mengkonfirmasi arsitektur bangunan romawi yg maju dan pemikiran yunani yg mapan. Kubah romawi dan logika yunani, dibingkai dengan nuansa dan spesifikasi yang islami. Sebagaimana budaya kejawen nusantara, dipoles dengan tangan dingin para wali menjadi Islam nusantara. Beda pandangan politik bukan hal yg pokok, selagi bisa merajut kedamaian bernegara dan kenyamanan beragama. Hidup sederhana dan penuh pengabdian untuk negara dan agama, adalah niscaya.

SANTRI DAN JIHAD


Oleh: Rifai

Santri-Untuk-NegeriHari Santri Nasional sudah diresmikan tanggal 22 Oktober, syukur dan alhamdulillah. Salah satu momen besar yang menjadikan hari santri patut diperingati adalah semangat nasionalisme yang ditanamkan pada kaum santri dalam melakukan perang terhadap simbol-simbol dan budaya penjajahan Belanda, hingga lahirnya resolusi jihad yang digaungkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari.

Penting dalam memperingati hari santri untuk menegaskan kembali jati diri seorang santri. Jika Nabi Muhammad ketika pulang dari perang mengatakan, kita telah pulang dari jihad kecil menuju kepada jihad yang besar yaitu melawan hawa nafsu. Maka sejarah perjuangan nasionalisme santri melawan penjajahan belanda dan resolusi Jihad, yang tergambarkan di atas merupakan sedikit cerminan identitas seorang santri.

Lebih dari itu, jati diri santri tercermin dengan dua elemen penting yang tanpanya tak akan sempurna kata santri diucapkan: pertama, seorang santri adalah penuntut ilmu (tholibul ilmi). Dimanapun letaknya seorang santri adalah sebutan bagi seorang yang belajar ilmu agama kepada kiai/ulama, dan tempatnyapun dinamakan pesantren. Dari hal ini, hakikat dari santri adalah seorang yang mencari ilmu dan membebaskan dirinya dari kebodohan. oleh karenanya jihad yang paling besar bagi seorang santri adalah melawan kebodohan dan penjajahan merupakan simbol dari kebodohan yang nyata.

Dari poin ini santri harus memiliki gairah mencari ilmu yang besar akademik maupun non akademik. Tergambar kaum santri saat ini sudah banyak yang memiliki gelar kesarjanaan, dari sekedar sarjana, master hingga yang berlabel doktoral. Hal ini membuktikan santri harus berpikir secara ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan. Sebab ulama-ulama terdahulupun, selalu mengajarkan untuk melakukan kajian dan analisa yang mendalam untuk membedah dan mendedah teks teks agama. Sehingga budaya keilmuan Islam berkembang dan terjaga. lebih dari itu poin utama dari seorang santri agar menjadi seorang yang berilmu, alim.

Kedua, seorang santri terkait erat dengan kata etika (akhlak). Kenapa santri terkait erat dengan etika? setiap orang tua yang menyerahkan anaknya kepada kiai untuk dididik, sudah menjadi rahasia umum tujuan utamanya agar memiliki akhlak yang mulya sesuai dengan ajaran Islam, ‘innama buitstu li utammima makarimal ahklak’. Jadi tugas kiai yang paling utama selain mengajari ilmu agama kepada santri, adalah mengajari akhlak. Dengan etika santri bisa mengatahui bagaimana berhubungan dengan Tuhannya dan dengan manusia sekitarnya, termasuk kepada para kiai dan guru, bahkan dengan hewan dan tumbuhan. Etika berhubungan dengan Tuhan, menjalankan perintah syariat dengan ketat tidak melalaikan. Etika menghormati guru dan orang yang lebih tua, serta mengasihi yang lebih muda. Dan menyayangi tumbuhan juga hewan.

Moral dasar yang ditanamkan kepada santri ini tentu untuk memanusiakan manusia dan menuhankan Tuhan dengan cara yang benar. Sehingga santri menjaga ketat etikanya ketika beribadah dan berprilaku yang baik, terhindar dari prilaku-prilaku amoral yang dapat menurunkan muruwah baik yang tertanam dalam jati diri. Sehingga santri bisa hidup dengan baik, karena Jihad yang paling utama adalah bagaimana hidup dengan baik di jalan Tuhan, dan itu lebih sulit daripada mati di jalan Tuhan.

Dua elemen ini, ilmu dan etika saling melengkapi antara satu dan lainnya. ilmu tanpa etika akan serampangan dalam implementasi dan sia sia, sedangkan etika tanpa ilmu akan buta. Oleh karenanya, santri dituntut menjadi seorang yang alim juga amil, memiliki ilmu dan mengimplementasikan dengan baik.

Selamat Hari Santri Nasional.
Kairo, 22 Oktober 2015.