Oleh; Rifai
Perubahan mendasar Ramadhan sekarang dan beberapa tahun yg lalu di daerahku, saat ini semangat dan antusiasme keislaman masyarakat tampak cukup besar. Hal ini terlihat saat sebelum dan seusai taraweh, di jalan-jalan sudah biasa terlihat sangat ramai anak kecil hingga orang dewasa bersarungan dan berpeci, serta megendong mukena bagi para wanita, yang hilir mudik ke masjid sekitar. Walaupun tiap masjid bervariasi dalam rakaat tarawehnya, yg berafiliasi Muhammadiyah 4 salam ditambah 3 rakaat witir, dan yg NU 10 salam 3 rakaat witir. Atau ada juga yg mengkolaborasikan keduanya sebagai bentuk toleransi, bagi yg ngambil 4 salam boleh pulang duluan, kemudian dilanjutkan yg mau 10 salam tarawehnya.
Selain itu, yang sangat menarik saat ini berkembangnya budaya buka bersama. Budaya ini sudah mengakar di tiap lapisan masyarakat di berbagai daerah. Bila tiba menjelang waktu berbuka, warung makanan dan lestoran kerap dipenuhi pesanan tempat buka bersama dari berbagai kelompok dan golongan. Bahkan tidak hanya sesama muslim saja, non muslim pun terkadang ikut merasakan dan berpartisipasi meramaikan acara buka bersama. Tentu ini budaya baru yg perlu diapresiasi dalam perkembangan keislaman di nusantara yang toleran saling mengkasihi dan menghormati. Karena budaya buka bersama ini berkonstribusi untuk menambah, pertumbuhan ekonomi dan juga jalinan silaturahmi.
Di sisi lain yg saya perhatikan dalam maraknya semangat keislaman tiap ada ceramah di sela taraweh, juga khutbah jumat, bahkan ustad-ustadzah tv. Jarang saya dengar yg memaparkan ceramahnya melalui pendekatan epistemologi keilmuan yg sudah terkonstruk secara ketat, dan juga memiliki kejelasan transmisi ilmu yg sudah membudaya sepanjang sejarah keilmuan Islam. Kebanyakan mereka hanya menukil beberapa hadits dan ayat, tidak pernah memberikan pertimbangan hasil ijtihad ulama terdahulu yang otoritatif tiap disiplin keilmuan Islam, seakan ia mengambil ijtihad dengan sendirinya. Jadi jarang dari uraiannya yg menyebut salah satu tokoh yg memang patut dijadikan rujukan, untuk membandingkan pendapatnya kemudian mengambil kesimpulan sesuai kondisi dan relevansinya. Paling banter di antara mereka hanya mengatakan menurut “guru saya”, entah gurunya siapa tidak disebut posisinya seperti apa.
Budaya seperti ini akan menjadi blunder di dalam semangat keislaman yg berkembang pesat, sebab tanpa mempedulikan ketatnya konstruk tiap disiplin keilmuan Islam akan mempermudah seseorang mengambil ijtihad secara serampangan. Lebih dari itu, akan mempermudah seseorang menyalahkan, menyesatkan dan mengkafirkan sesuatu yg tidak sesuai dengan pandangannnya atau kelompoknya. Sehingga umat Islam mudah diadu-domba. Oleh karenanya, sangat mendesak dikampanyekan secara masif akan konstruk ilmu keislaman secara ketat, serta memiliki transmisi keilmuan yg jelas melalui lembaga dan institusi yg kapabel dan kompeten, untuk mengimbangi besarnya semangat keislaman saat ini.