REFLEKSI PEMIKIRAN DALAM ISLAM (Muktazilah)


Catatan ini merupakan tulisan pertamaku ketika masih lugu, setelah menginjakkan kaki di bumi kinanah, Mei 2009.

Dr. Jibson tertarik dengan pemikiran Dr. Sir Walem Darmon yang menyatakan: “Orang yang tidak mau untuk berpikir (ilmiah) adalah fanatik, yang tidak mampu untuk berpikir adalah orang gila, adapun orang yang tidak tertarik melaju ke dalam jalur pemikiran, tidak usah diragukan dia adalah budak para hamba”.[1]

Berangkat dari uraian di atas keingintahuan penulis muncul, untuk menelusuri sosio historis intelektualitas dalam Islam. Sebab kalau dikaji ulang, Islam memiliki khazanah keilmuan paling kaya dari pada agama lainnya. Bahkan potensi yang besar itu kini dimanfaatkan oleh Orientalis lewat kajian otoritatif[2]. Sehingga dampaknya bisa dirasakan sekarang, bahwa peradaban Barat melebihi peradaban Islam.

Sebaliknya peradaban Islam mengalami keterpurukan yang tak lain disebabkan karena, para pemikir Islam tidak diberikan ruang gerak untuk mengembangkan diri.  Bahkan dunia Islam sibuk sendiri, saling menyalahkan dan mengkafirkan sesama muslimnya. Tak jarang dengan kesibukannya itu, terjadi gesekan dan benturan hingga konflik internalpun terjadi.

Sebenarnya histori perkembangan pemikiran dalam Islam, sudah ada semenjak permulaan abad ke-2 hijriah. Adalah Washil bin Atho’ (80 H – 131 H) pendiri gagasan dalam kelompok pemikir Islam Muktazilah[3]. Muktazilah merupakan suatu kelompok pemikiran dalam Islam, yang terkenal dengan sifat rasional dan liberal. Pandangan Muktazilah cenderung bahkan  lebih banyak menggunakan dalil ‘aqliyah (akal) sehingga sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam, dan itu yang membedakan pemikiran ini dari pemikiran teologi Islam lainnya.

Walaupun pemikirannya sering mendahulukan dalil ‘aqliyah, bukan berarti kelompok ini menanggalkan kalam suci Ilahi dan sunnah Nabi. Menurut Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani (wafat tahun 414 H) Pemimpin Muktazilah pada masanya, menyatakan : “Bahwasanya Muktazilah bukan madzhab baru, kelompok asing, bahkan bukan pula perkara baru (dalam Islam), tapi Muktazilah adalah penerus sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabatnya”.[4]

Selama ini memang banyak kalangan muslim termakan oleh opini orang yang tidak sealiran dengannya, memandang sebelah mata, terhadap kelompok Muktazilah. Tak salah bila Harun Nasution, membela penggunaan rasionaliti oleh Muktazilah, dalam memajukan pandangan agama Islam, dengan menulis :

“Adalah tidak mengherankan penentang Muktazilah seringkali menuduh Muktazilah sebagai manusia yang tidak memerlukan wahyu, bahwa bagi mereka semuanya boleh diketahui dengan akal, dan terdapat konflik di antara akal dan wahyu, bahwa mereka berpegang kepada akal dan meninggalkan wahyu, dan Muktazilah tidak mempercayai wahyu. Tetapi apakah benar Muktazilah berpendapat semuanya boleh diketahui melalui akal dan oleh itu wahyu tidak diperlukan? Tulisan-tulisan golongan Muktazilah menunjukkan sebaliknya. Pada pendapat mereka, akal manusia tidak cukup kuat untuk mengetahui segalanya dan kerana itu manusia memerlukan wahyu untuk sampai kepada kesimpulan berkenaan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk mereka.” [5]

Sebenarnya Muktazilah dengan kelihaiannya memainkan logika, selain membangun kelompok teologis dalam tubuh Islam. Lebih dari itu kelompok ini membentengi Islam dari serangan agama luar. Seperti ; agama Samawi Yahudi dan Nashrani. Bahkan agama peninggalan masa Purba yang jauh ada sebelum Islam muncul di Persia, Iraq kuno, Syam, seperti; Manuwiyah, Zoroaster, Shabiah, Majusi, Dhahriyah serta golongan kaum Heretis[6].Sehingga dengan demikian Islam bisa bersaing bahkan melakukan perlawanan kepada mereka, dengan menggunakan nalar akal sehat yang rasional dan tanpa mengenyampingkan logika agama.

Muktazilah Kenapa dan Bagaimana?

Sebuah peristiwa besar yang melatar belakangi munculnya kelompok ini adalah, pada saat Hasan al-Bashri (guru Washil bin Atho’) memberikan pelajaran di masjid Bashrah. Datanglah seseorang kepadanya, lalu berkata : “Wahai Imam agama, telah muncul pada zaman ini suatu kelompok, yang suka mengkafirkan orang mukmin pendosa besar. Dan menurut mereka pendosa besar itu kafir dikeluarkan dari Islam, kelompok ini adalah al-khawarij. Dan ada pula Kelompok yang mengambalikan hukum ke atasnya. Mereka berkata : “Tidak memberi mudarat kemaksiatan jika mempunyai iman, sebagaimana tidak memberi manfaat ketaatan jika dalam kekafiran. Mereka adalah golongan Murji’ah [7].

Kemudian dia bertanya : “Maka bagaimana kamu menghukumi kepercayaan itu?” ketika memikirkan jawabannya Hasan al-Bashri sebelum menjawab, mendapatkan (celetukan) jawaban dari Washil bin Atho’ yang ketika itu menghadiri pelajaran itu, seraya mengatakan : “Aku tidak meyakini bahwa seorang muslim pendosa besar sebagai seorang mukmin yang mutlak dan tidak pula sebagai seorang kafir yang mutlak. Akan tetapi posisi mereka diantara dua Posisi yang berseberangan, tidak kafir juga bukan mukmin”. Kemudian Washil bin Atho’ bangun dan menyendiri di antara tiang-tiang masjid memikirkan kembali pernyataan yang telah dilontarkan pada sang Guru dan jamaah yang ada dalam ruangan itu, kemudian Hasan berkata: “) “اعتزل عنَّا وصيلWashil telah mengasingkan (I’tizal) diri dari kami/Pergi dari kami Washil(. [8]

Dari peristiwa itulah kemudian orang yang sependapat dengan pemikiran Washil bin Atho’ disebut dengan kelompok Muktazilah. Dalam perjalananya Muktazilah mengalami pematangan kearah yang lebih Ilmiah dan rasional dari aliran lain yang ada ketika itu, hingga menjadi teologis yang paling dominan. Karena aspek rasionalitas ini, pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah, Muktazilah menjadi ideologi resmi Negara. Tepatnya pada kekhalifahan al-Makmun dan para pelanjutnya. [9]

Dalam ruang lingkup Muktazilah, sebagai kelompok yang memiliki nilai kredibilitas yang cukup tinggi dalam Islam, Muktazilah memiliki dasar ajaran tersendiri. Adapun dasar-dasar ajarannya ada lima (الأصول الخمسة) yaitu :

  1. Al-Tauhid (التوحيد)

Sebagai kelompok yang berasaskan Islam tentunya prioritas ajarannya adalah tauhid, percaya akan tiada Tuhan selain Allah SWT. Berkeyakinan sifat Tuhan adalah tidak berbeda dari zat-Nya. Dengan kata lain, Tuhan itu Maha Mengetahui, tetapi Tuhan itu Maha Mengetahui karena zat-Nya, bukannya kerana Ia mempunyai pengetahuan yang terasing dari diriNya. Konsep Tauhid ini diterangkan dalam hasil kerja cendekiawan Muktazilah, Abdul Jabbar al-Hamdani. Lebih dari itu dalam ideologi ketauhidan ini, terdapat sekelumit perbedaan antara Muktazilah dan kelompok teologis Islam lainnya. Hal ini terjadi dalam permasalahan kekekalan Al-Qur’an, yang diyakini tidak kekal oleh Muktazilah. Sebab menurutnya Al-Qur’an bukan dari zat Allah, tetapi al-Qur’an adalah kalimat yang diucapkan  dalam waktu yang telah ditentukan, karenanya adalah perkara baru sehingga bisa dibilang sebagai makhluk. [10]

  1. Keadilan Tuhan ( العدل)

Keadilan Tuhan dalam pandangan Muktazilah meyakini sesungguhnya Allah SWT tidak  dholim dan tidak mungkin menyuruh dengan apa yang tidak mampu dikerjakan hambanya. Tidak pula memaksa hambanya melakukan maksiat, kemudian diberi adab. Dan Allah tidaklah mungkin mengerjakan kecuali itu baik untuk hamba-Nya dan bermanfaat bagi mereka. [11]

Muktazilah tidak menafikan terhadap adanya kedholiman di atas manusia, hal ini terjadi disebabkan manusia yang menyalah gunakan kebebasan memilih, yang diberi Tuhan. Dalam menerangkan hal ini, Muktazilah bergantung kepada doktrin taklif – yaitu hidup ini adalah ujian Tuhan kepada manusia yang diberikan akal fikiran untuk memilih yang baik dan buruk.

  1. Janji dan Ancaman (الوعد و الوعيد)

Dalam hal ini keyakinan Muktazilah adalah, percaya adanya Janji Allah SWT yang berupa pahala dan ancaman-Nya yang berupa adzab. Serta pula janji diterima taubat seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa, sebab tidak ada pengampunan jika tidak bertaubat[12] . Dari hal itu mereka meyakini bila seorang hamba selalu melakukan kebaikan dan taat terhadap perintah Allah, maka dia akan mendapatkan pahala balasannya di Akhirat kelak. Sebaliknya bila hamba selalu berbuat dosa maka ia akan mendapat siksaan, tapi bila ia bertaubat maka akan diampuni dosanya.

  1. Posisi diantara dua Posisi yang berseberangan (المنزلة بين المنزلتين)

Posisi pertengahan (netral). Pendapat ini dicetuskan Wasil ibn Atho’ sebagaimana cerita di atas, dalam peristiwa terjadinya perbedaan pendapat Washil dengan gurunya Hasan al-Basri. Pertentangan antara keyakinan Khawarij yang meyakini mukmin pendosa besar yang tidak bertaubat, dianggap kafir. Dan Murji’ah yang meyakini mukmin pendosa besar dianggap tetap sebagai mukmin. Hanya Tuhan yang akan menentukan di neraka mana mereka ditempatkan kerana neraka itu mempunyai banyak tingkat untuk semua golongan.

  1. Memerintah kepada kebaikan dan Mencegah Kemungkaran  (الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر)

Ajaran ini merupakan satu-satunya ajaran yang langsung berhubungan dengan implementasi penerapan kepada manusia diseklilingnya, bila dibandingkan dari ajaran-ajaran yang 5 lainnya. Dalam perkara memerintah kebaikan Muktazilah berbeda pendapat berpendapat bahawa menyuruh kepada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara kemungkaran mestilah dengan cara yang baik. Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani menyatakan “haruslah diketahui (amru bilma’ruf nahi munkar) harusnya tidak menimbulkan kemhudaratan yang lebih besar”.[13]

Dari Hal itu ditakutkan ketika ingin mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, malah membuat kemudharatan lebih besar seperti halnya aksi anarkis yang melukai dan merusak sekeliling. Yang bila hal itu terjadi akan berakibat fatal, sebab orang yang akan diajak bukannya mengindahkan ajakan malah tidak menghiraukan, dan orang yang dilarang bukan meninggalkan malah semakin semangat untuk melakukan.

Dari keterangan di atas, sudah kiranya mengetahui jawaban Muktazilah kenapa dan bagaimana? Sebagai pengetahuan umum tentang; asal mula, pencetus dan ajaran yang terdapat pada kelompok teologis Muktazilah. Walaupun sudah banyak para cendekiawan muslim yang telah menorehkan penanya, guna menulis tentang Muktazilah. Walaupun karya ini hanya beberapa paragraph, penulisan karya ini tak lain hanya untuk memperkaya pembendaharaan karya tulis, yang membahas keagungan otak untuk mengetahui dan mendekatkan diri pada Sang Penguasa Alam, Allah SWT. Selain sebagai pembuktian dan konstribusi penulis, sebagai generasi yang menginginkan kejayaan Islam. Serta menyadarkan umat muslim kebanyakan, atas urgensitas intelektual dan keilmuan untuk memajukan kembali peradaban Islam, yang telah lama terpenjara dalam kungkungan kemalasan berpikir serta kesalahan berideologi.

Epilog

Sejatinya otak yang telah diberikan oleh Allah SWT, agar manusia bisa berfikir dan mempelajari sesuatu. Sayangnya Islam yang kaya akan khazanah keilmuan, umatnya tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Dibalik itu Orientalis dengan gencarnya mengkaji keilmuan dan pengetahuan yang terdapat dalam Islam, Sehingga tak terelakkan sekarang peradaban Barat melebihi Peradaban Islam.

Sedangkan peradaban Islam mengalami keterpurukan, yang tak lain karena intelektualitas umat muslim dipasung oleh mayoritas tokoh Islam yang melarang untuk berfikir secara rasional. Adalah Muktazilah, kelompok teologis Islam yang telah membuka gerbang pemikiran dalam Islam.

Walaupun terkadang kebanyakan umat muslim memandang sebelah mata Muktazilah. Padahal, itu merupakan sumber kosntribusi untuk membentengi sekaligus melawan musuh Islam, yang tak lagi melakukan peperangan dengan fisik, melainkan dengan keilmuawan dan keintelektualitasan membangun peradaban.

Oleh karenanya, diperlukan kesadaran bagi seluruh umat muslim agar menumbuhkan kembali, ghiroh pemikiran nalar rasional. Dengan harapan, membangun peradaban Islam yang sudah tidak lagi terlihat eksistensinya, hingga tercapainya kejayaan Islam. Ingat Allah tidak merubah suatu kaum, kecuali kau itu merubahnya sendiri. Wallahu a’lam bisshowab!

Daftar Kutipan :

[1] Jibson, 1979 : 7.

[2] Wahyuddin, 2009 : 116.

[3] Jarilllah, 2002 : 2.

[4] Halim, 2006 : 157.

[5] Nasution, 1997.

[6]  Anshori, 2009 : 87.

[7]  Aliran Murji’ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.

[8]  Rustum, 2008 : 90-91.

[9] SASC, 2005 : 7.

[10] Rustum, Op Cit : 96.

[11] Ibid : 97.

[12] Ibid : 98.

[13] Ibid : 99.

Daftar Pustaka :

Anshori, Faiq Ihsan. 2009. HIMMAH (Edisi IV) ; Nalar Muktazilah. Cairo.

Halim, Muhammad Abdul. 2006. Mu’assasatu al-Adyan.

Jibson, Dr. 1979. Kaefa Tufakkir, Dar al-Ilmi Lilmalayin. Beirut.

Jarilllah, Zuhdi Hasan. 2002. AL-MUKTAZILAH. Cairo : Maktabah Al-Azhariyah Litturots.

Nasution, Harun. 1997. Muktazilah dan Falsafah Rasional.

Rustum, Sa’ad. 2008. Al-Firoq wa al-Madzahib al-Islamiyah. An-Nasr, Cairo : Daaru al-awail.

SASC (Said Aqil Siradj Center). 2005. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam NU Konseptualisasi Tradisi Yang Hidup. Cairo.

Wahyuddin, Imam. 2009. HIMMAH (Edisi IV) ; Jejak-jejak Kajian Orientalis. Cairo.

Tinggalkan komentar